Setelah sekian lama terhenti dalam menulis tulisan yang
antah berantah dan dengan frase kemajemukan yang homogeny, terbesit rasa kangen
yang luar biasa untuk menggoreskan secarik tulisan-tulisan unformal untuk
mengotori dinding putih yang Nampak suci ini. Masih bertemakan sebuah
kedigdayaan sebuah perasaan, maha rasa yang tidak akan pernah berhenti
menguntai dalam buliran kias perjalanan kehidupan, ya demikian lah perasaan,
selalu ada didalam jati diri setiap insan yang diberikan anugrah kewarasan
untuk memiliki perasaan itu, dikatakan atau tidak, itu tetap perasaan yang haq
dan benar.
Dalam klausan tulisan ini, seperti biasa penulis masih ”tresno lan gandrung” ( suka dan senang ) dalam menyampaikan
tulisan-tulisan yang bernuansa romansa, karena harfiahnya perasaan itu sebuah
nyawa dari kehidupan manusia-manusia yang mengaku waras. Jadi tidak menjadi
alasan untuk tidak menceritakan secara abstrak tentang harmoni romansa dalam
kehidupan empiris maupun fiktif dari sudut pandang manusia yang satu ini.
Entah dari mana harus dituliskan kembali klausa phrase dari
ide tullisan ini, tetapi yang jelas bahw perasaan itu acapkali sering kali
terbawa fenomena falsafah kehidupan yang dikisahkan dalam berbagai bentuk
adegan yang dipertontonkan ataupundituliskan dalam bentuk mahakarya tulisan
pencetus, dengan dikung era yang super berkembang ini falsafah percintaan mulai
merambah diberbagai dunia-dunia kekinian yang menghujar hampir disetiap lini
elemen masyarakat, apa itu salah? Tentu tidak, karena perasaan itu adalah
sebuah kemurnia yang mendasar pada setiap kehidupan masyarakat, maupun individu
pada khususnya, namun alangkah lebih bijaknya apabila dipandu secara benar
dalam mengelola perasaan itu, agar supaya tidak terjadi sebuah “kecelakaan”
yang mengakibatkan dua sejoli terperanggah dalam kedewasaan dini.
Era Gadget, era maya.
Dari masa ke masa kenyataan perasaan itu tetaplah sama,
tetapi hanya saja seiring dengan perubahan zaman,maka pernyataan perasaan
itulah yang bisa diekspesikan melalui berbagai wahana, apalagi sekarang ini
adalah zamannya dimana kuota internet lebih berharga dari isi perut yang
kosong, melalui kuota internet inilah banyak kalayak yang dapat mengekspose
segala bentuk perasaan yang sedang melandannya, terkesan agak fulgar tetapi
itulah kekiniannya. Autisme era gadget.
Sekarang mah enak pake banget dalam menjalin sebuah hubungan yang hingga
jadi perasaan (mungkin baper), dengan diimbangi teknologi canggih era gadget
dan tetek mbengeknya, memudahkan bagi
pemain perasaan dalam menjalankan gempita perasaanya, tidak usah dipungkiri
dewasa kitapun juga demikian adanya. Tidak dapat disalahkan dan tidak dapat
dilewatkan, karena dengan adanya produk gadget inilah mendekatkan yang jauh dan
menjauhkan yang dekat #eh, tak perlu bernista untuk menunjukkan perwujudan
perasaan dari hasil gadget ini, jika boleh diistilahkan “gadget dan kuota ada
sejoli, jika tidak beriringan maka masih ada wifi-mifi untuk
menyambungkannya,tetapi jika sudah tidak terkoneksi, maka lenyap sudah
kehidupan mayamu”, bisa dikatakan ini adalah sebuah gambaran abstark yang
sedang dinisbatkan untuk para penikmat hubungan melalui tranmisi
elektromagnetik udara (red:signal).
Basa-basi..
Dalam era dewasa ini basa-basi adalah senjata pertama yang
digaungkan untuk memperoleh perhatian dari lawan jenis, sebuah kemanusiawian
yang terbentuk karena perkembangan kemodusan yang terus menerus berkembang
biak. Back to the topic, dikatakan atau tidak itu tetep perasaan, pasti dalam
diri kita tanpa perlu munafik juga pernah mengalami hal yang sedemikian, tak
usah perlu disangsikan atau disanggah, karena saya yakin pasti setiap yang
berakal waras pasti mempunyai kecenderungan dalam hal ini. Mau dikatan atau
tidak perasaan itu tetap ada, bisa jadi perasaan itu akan tersalur pada harapan
yang diinginkan atau malah juga akan kandas karena faktor X dari satu pihak
atau kedua belah pihak, tak perlu disesali, karena itulah sebuah resiko dalam
perasaan. Sebenarnya banyak urgensi yang mempengaruhi dari sebuah retorika
perasaan, apakah perasaan terbawa karena terbiasa atau bisa juga karena memang
karena sebuah keterkaguman dari salah satu sisi pribadi dari seseorang. Dengan
berbagai pertimbangan yang dipikirkan oleh pemilik perasaan dari salah satu
pihak juga mampu mengintervensi perasaan itu yang pada akhirnya akan menuai
hasil pada sebuah muara, entah muara pada luasnya paras lautan, ataukan
bermuara pada curamnya air terjun.
Eng.ing eng, dalam berbagai masalah perasaan adalah masalah
dimana tujuan perasaan itu harus dilabuhkan secara benar dan tepat, jika hanya
mengejar gengsi karena mengedepankan “keirian” karena para truk sudah gandengan
maka bisa jadi perasaan itu hanya sekedar lewat semata dan hanya akan seperti
bis yang singgah sana singgah sini dalam mencari warna. Maka disinilah perlu
adanya sebuah kedewasaan dalam bertindak dan menindaklanjuti dari pesona
perasaan, menempatkan perasaan disaat yang pas, siap dan mampu adalah kunci
dari bagaiamana labuhan perasaan itu akan bermahligai secara tentram. Maka jika
sudah pernah terlanjur nyemplung pada perasaan yang salah cukupkanlah hal itu
sebagai pembelajaran untuk menjadi seseorang manusia yang layak dianggap
manusia yang berperasaan. Tak ayal bahwa
kontroversi perasaan itu dilebaykan menjadi sebuah penohok yang disaksikan oleh beberapa orang
karena ketidakmapaan dalam melabuhkan perasaan dalam hatinya.
Perasaan itu perlu diperjuangkan? Tentu saja demikian setiap
perasaan harus diperjuangkan, banyak hal positif yang bisa kamu lakukan dalam
memperjuangkan perasaanmu itu, tetapi jangan sampai bodor dan tolor dalam
mengekspresikan hal yang sedemikian itu hingga membuatmu merasa konyol dengan
dirimu sendiri. Perasaan itu sifatnya suci, jangan nodai dengan nafsu-nafsu
yang nantinya akan mematikan nalar sehatmu. Memperjuangkan perasaan itu
susah-susah gampang, perlu persiapan ekstra dalam hal ini, bisa jadi ketika
kamu sudah siap dengan hal mulai dari kemapanan psikismu, kematangan
pemikirannya, kesabaran hatimu akan terbentur pada sebuah keputusan dan dogma,
sehingga menyebabkan misi gagal, tetapi dunia tidak berhenti sampai disitu,
masih banyak hari esok untuk lebih bersikap arif, mungkin Tuhan mempersiapkan
kado istimewanya untukmu, hanya saja tetaplah untuk bersabar.
Ekspesi perasaanmu jangan sampai berimbas pada normatif perilakumu,
bahkan seringkali tempramen dari seseorang
terbawa pada nuansa perasaan sehingga mudah emosi, galau, sempit fikir
dan lain sejenisnya, dan hal ini yang mungkin banyak dikisahkan dalam acara
telenovela di sinetron-sinetron teve, TAPI, serial di teve itu nggak selalu
sejalan dengan empiris dinyatanya, karena di teve selalu menayangkan happy
ending, la kalo riilnya? Beda jauh lah ya.
jika bisa dikatakan, jangan aktingkan perasaanmu seperti kooptasi telenovela
teve yang sudah meracun pada pemikiranmu, cukup-kan yang ada,jangan lebih dan
kurangkan. Karena semuanya sudah ada yang ngatur tho, tinggal dekati yang
Ngatur (sutradara yang Haq), baru jalani.
No drama, no acting, just say it
Dalam menggaungkan perasaan nggak perlu berdrama sampai
berdarah-darah hingga sampai membuatmu linglung seperti orang yang mempunyai
kewarasan lebih, cukuplah gaungkan perasaanmu dalam nilai positif, tanpa acting
dan tanpa mendramalisir, capeklah tentu ketika kita mendramakan perasaan kita.
Toh dalam menampilkan dan atau manyatakan
perasaan yang natural itu lebih indah
kok, tanpa ada retorika lebay yang dijalankan. Nyatakan aja perasaanmu, tetapi
juga perlu menunggu momentum yang tepat, jangan sampai si doi lagi banyak
masalah atau sedang berbulan, yang ada kamu malah kena semprot,omel dan lain
lain. Testimony menyatakan perasaan haruslah dengan sebuah kemapanan perasaan,
perasaan antara diambang kemenangan atau kekecewaan, but, istilah kekecewaan
harus dihapuskan karena hal itu hanya akan membuatmu lemah, lebih tepat apabila
kekecewaan itu diganti dengan kurang beruntung, itu jauh lebih baik. Apabila
perasaan itu sudah dirasa siap namun tidak jua kau nyatakan karena dari segi
kamunya yang belum siap maka segera persiapkan segala bentuk kemungkinan.
Karena perasaan yang benar itu nggak akan pernah salah dan tertukar. Begitulah
perasaan, menggunggah sejuta keagungan yang tidak dapat dimanifestokan pada
kolosal drama, tidak dapat diintervensi pada keumuman sikap, dan cukup katakan.